SITI MUFAROKAH. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

.

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

HAM


Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan kalangan masyarakat pada era dewasa ini adalah maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau biasanya lebih dikenal dengan sebutan “KDRT”, diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, yang diatur dengan undang-undang.
Kalau bicara masalah KDRT pasti tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia, Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia.Nah..maka dari itu sebelum membahas lebih lanjut tentang kasus KDRT saya akan memperjelas terlebih dahulu apa itu istilah Hak Asasi Manusia atau yang lebih dikenal dengan sebutan “HAM”. Hak Asasi Manusia dalam kamus Bahasa Indonesia memberikan pengertian sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dihormati, dilindungi dan dipertahankan serta tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan salah satu permasalahan yang telah mengakar sangat dalam dan terjadi di Negara kita ini. Beberapa kasus KDRT juga mendapat perhatian cukup signifikan di berbagai media massa, contohnya saja pada kasus pria warga Jln. Adi Sucipto Marpoyan Damai di Pekan baru yang melakukan tindakan kekerasan pada istrinya dengan menendang kepala istrinya hal itu disebabkan karena emosi suami yang tak terkontrol sehingga istri dibuat pelampiasan emosinya, kemudian Istri yang disiram air keras oleh suaminya karena sifat suami yang cenderung pencemburu agar tidak berhubungan dengan laki-laki lain setelah itu mengurung istrinya di dalam rumah karena takut tindakannya diketahui oleh masyarakat sekitar,  
         KDRT bisa terjadi karena  faktor individu yakni tidak adanya sikap ketakwaan pada diri individu tersebut, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami isteri dalam rumah tangga. oleh karena itu, dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Suami juga memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang baik pula.
Pada kasus KDRT ini kebanyakan membuat para istri dan anak yang menjadi korban. Banyak sekali faktor-faktor yang mendorong munculnya kasus ini seperti pada pernyataan berikut:
1.      Kurangnya pemahaman ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
2.      Faktor ekonomi dan sosial, Harga-harga kebutuhan pokok yang terus menanjak naik ditambah lagi penghasilan yang pas-pasan memicu sebagian orang tua untuk melampiaskan kemarahan dan kekesalannya pada siapa saja yang ada di sekitarnya, termasuk pada anak kandungnya sendiri. Di samping itu, orang tua yang terlalu sibuk bekerja, sampai melupakan segala kebutuhan sang anak, juga dapat digolongkan ke dalam tindak kekerasan.
3.      Kondisi kejiwaan orang tua yang labil. Berbagai tekanan hidup dan ketidaksiapan mental orang tua menerima kehadiran seorang anak juga memicu berbagai tindak kekerasan. Terutama bagi orang tua yang memiliki anak karena “kecelakaan”, akibat pergaulan bebas atau korban pemerkosaan sampai akhirnya hamil, memaksa para orang tua muda ini menerima anak yang “tidak diharapkan”. Selain itu, orang tua yang menderita gangguan kejiwaan pun memiliki kemungkinan yang besar untuk menganiaya anaknya.
4.      Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah tertanam sedemikian rupa dalam rumah tangga. Istri adalah milik suami oleh karena itu harus melaksanakan segala yang diinginkan suami. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
5.      Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem dalam rumah tangganya.
6.      Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun banyak terjadi.
      Sehingga perilaku KDRT tersebut bisa berakibat buruk pada korban yang bersangkutan, diantaranya :
  Dampak kekerasan terhadap istri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
        Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini terjadi tanpa memandang batas usia, profesi, tingkat ekonomi maupun pendidikan dari individu yang mengalaminya. KDRT seperti ini seringkali diselesaikan dengan berbagai cara, seperti contoh kasus diatas dimana kasus KDRT ‘selesai’ dengan cara membuat korban mengalami cacat permanen di tubuhnya. Terdapat banyak kasus KDRT pula yang diselesaikan dengan jalan lain, misalnya saja perceraian. KDRT seperti dalam kasus perceraian artis-artis bisa jadi hanya sebagian kecil contoh dari banyak kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Sudah terbukti Berdasarkan dari hasil pemantauan diberbagai Pengadilan Agama (PA) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat banyak kasus perceraian yang didasari oleh berbagai bentuk KDRT.
Solusi untuk mengatasi terjadinya kasus tersebut yang  perlu dilakukan adalah dengan KETERBUKAAN. Seorang istri hendaknya meluangkan waktu untuk mendengar segala keluhan suaminya. Meski sudah ada anak, tak ada salahnya kemesraan dan keharmonisan  rumah tangga tetap terjaga. Dan sebaliknya Suami juga hendaknya mampu mengalah serta meyakini tugasnya untuk menafkahi dan berjuang demi keutuhan keluarga. Sehingga hal tersebut tidak sampai terjadi dan nantinya tidak sampai berimbas pada anak-anak mereka.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar