Salah satu hal penting yang
telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah dan kalangan masyarakat pada era
dewasa ini adalah maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau biasanya
lebih dikenal dengan sebutan “KDRT”, diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh
suami terhadap istri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, yang diatur
dengan undang-undang.
Kalau bicara masalah KDRT
pasti tidak terlepas dari Hak Asasi Manusia, Hal ini mengingat bahwa KDRT
adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia.Nah..maka dari itu
sebelum membahas lebih lanjut tentang kasus KDRT saya akan memperjelas terlebih
dahulu apa itu istilah Hak Asasi Manusia atau yang lebih dikenal dengan sebutan
“HAM”. Hak Asasi Manusia dalam kamus Bahasa Indonesia memberikan pengertian
sebagai hak-hak mendasar pada diri manusia. Hak Asasi Manusia adalah hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia yang bersifat universal dan
langgeng, oleh karena itu harus dihormati, dilindungi dan dipertahankan serta
tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Kekerasan
dalam Rumah Tangga merupakan salah satu permasalahan yang telah mengakar sangat
dalam dan terjadi di Negara kita ini. Beberapa kasus KDRT juga mendapat
perhatian cukup signifikan di berbagai media massa, contohnya saja pada kasus
pria warga Jln. Adi Sucipto Marpoyan Damai di Pekan baru yang melakukan
tindakan kekerasan pada istrinya dengan menendang kepala istrinya hal itu
disebabkan karena emosi suami yang tak terkontrol sehingga istri dibuat
pelampiasan emosinya, kemudian Istri yang disiram air keras oleh suaminya
karena sifat suami yang cenderung pencemburu agar tidak berhubungan dengan
laki-laki lain setelah itu mengurung istrinya di dalam rumah karena takut
tindakannya diketahui oleh masyarakat sekitar,
KDRT bisa terjadi karena faktor individu yakni tidak adanya sikap
ketakwaan pada diri individu tersebut, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami
isteri dalam rumah tangga. oleh karena itu, dibutuhkan relasi yang jelas antara
suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami
berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Suami juga memiliki
kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak
dan memperlakukan mereka dengan cara yang baik pula.
Pada kasus KDRT ini kebanyakan
membuat para istri dan anak yang menjadi korban. Banyak sekali faktor-faktor
yang mendorong munculnya kasus ini seperti pada pernyataan berikut:
1. Kurangnya
pemahaman ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
2. Faktor ekonomi dan sosial,
Harga-harga kebutuhan pokok yang terus menanjak naik ditambah lagi
penghasilan yang pas-pasan memicu sebagian orang tua untuk melampiaskan
kemarahan dan kekesalannya pada siapa saja yang ada di sekitarnya, termasuk
pada anak kandungnya sendiri. Di samping itu, orang tua yang terlalu sibuk
bekerja, sampai melupakan segala kebutuhan sang anak, juga dapat digolongkan ke
dalam tindak kekerasan.
3. Kondisi kejiwaan orang tua
yang labil. Berbagai tekanan hidup dan ketidaksiapan mental orang tua menerima
kehadiran seorang anak juga memicu berbagai tindak kekerasan. Terutama bagi
orang tua yang memiliki anak karena “kecelakaan”, akibat pergaulan bebas atau
korban pemerkosaan sampai akhirnya hamil, memaksa para orang tua muda ini
menerima anak yang “tidak diharapkan”. Selain itu, orang tua yang menderita
gangguan kejiwaan pun memiliki kemungkinan yang besar untuk menganiaya anaknya.
4. Adanya
hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa
suami lebih berkuasa dari pada istri telah tertanam sedemikian rupa dalam rumah
tangga. Istri adalah milik suami oleh karena itu harus melaksanakan segala yang
diinginkan suami. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan
akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
5. Kekerasan
sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik. Biasanya kekerasan ini dilakukan
sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya
keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat
memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh
anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar
ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem dalam rumah tangganya.
6. Masih
rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari masyarakat sendiri
yang enggan untuk melaporkan permasalahan dalam rumah tangganya, maupun dari
pihak- pihak yang terkait yang kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga data kasus tentang (KDRT) pun banyak terjadi.
Sehingga
perilaku KDRT tersebut bisa berakibat buruk pada korban yang bersangkutan,
diantaranya :
Dampak kekerasan terhadap istri adalah:
mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga
diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang
sudah menyiksa dirinya, mengalami stress pasca trauma, mengalami depresi, dan
keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan si istri adalah
kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan pada
Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan.
Dampaknya
bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan,
peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak
dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada
pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara
memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini terjadi tanpa memandang batas
usia, profesi, tingkat ekonomi
maupun pendidikan dari individu yang mengalaminya. KDRT seperti ini seringkali diselesaikan dengan
berbagai cara, seperti contoh kasus diatas dimana kasus KDRT ‘selesai’ dengan
cara membuat korban mengalami cacat permanen di tubuhnya. Terdapat banyak kasus
KDRT pula yang diselesaikan dengan jalan lain, misalnya saja perceraian. KDRT seperti
dalam kasus perceraian artis-artis bisa jadi hanya sebagian kecil
contoh dari banyak kasus KDRT yang terjadi di Indonesia. Sudah terbukti Berdasarkan dari hasil pemantauan diberbagai Pengadilan Agama (PA) Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat banyak
kasus perceraian yang didasari oleh berbagai bentuk KDRT.
Solusi
untuk mengatasi terjadinya kasus tersebut yang
perlu dilakukan adalah dengan KETERBUKAAN. Seorang istri hendaknya
meluangkan waktu untuk mendengar segala keluhan suaminya. Meski sudah ada anak,
tak ada salahnya kemesraan dan keharmonisan
rumah tangga tetap terjaga. Dan sebaliknya Suami juga hendaknya mampu
mengalah serta meyakini tugasnya untuk menafkahi dan berjuang demi keutuhan keluarga.
Sehingga hal tersebut tidak sampai terjadi dan nantinya tidak sampai berimbas
pada anak-anak mereka.







0 komentar:
Posting Komentar